Jumat, 06 Januari 2012

konsep pendidikan paulo freire


Kajian tokoh pendidikan
Pendidikan adalah Pendidikan untuk Membebaskan
Siapakah Paulo Freire?
1.      Riwayat Hidup Singkat
Freire lahir 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Timur laut Brazil. Bapak ibunya bernama Themistocles Freire dan Edeltrus Neves. Sejak kecil ia diajari orang tuanya untuk menghargai dialog dan pendapat orang lain. Dari sini Freire belajar menganalisis setiap konsep yang didapatinya. Ketika berumur sepuluh tahun, keluarganya pindah ke Jabatao dan di kota inilah ayahnya meninggal. Freire harus bergelut dengan masa transisi dan keterbatasan finansial. Situasi ini membuatnya jatuh bangun menjalani studi. Akhirnya dia dapat menyelesaikan sekolah menengahnya. Lalu dia diterima di fakultas hukum di Universitas di Recife. Di samping kuliah hukum, dia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa.
Pada tahun 1944, Freire menikah dengan Elza Maia Costa Olivera dari Recife, seorang guru sekolah dasar yang kemudian menjadi kepala sekolah. Dari pernikahan itu Elza melahirkan tiga orang putri dan dua orang putra (Collins, 2002). Ketertarikan Freire dalam teori-teori pendidikan mulai tumbuh, dan menuntunnya untuk lebih banyak menelaah bacaan tentang pendidikan, filsafat, dan sosiologi daripada hukum yang selama ini sebagai sarana penghasilannya. Freire memberikan pendidikannya lewat seminar, pengarahan, kursus-kursus dan pengajaran dalam mata kuliah sejarah, filsafat pendidikan, dan lain-lain, di University of Recife, dan ia memperoleh gelar doktor pada tahun 1959.
Sejak Juni 1963 sampai Maret 1964, tim pemberantasan buta huruf Freire telah bekerja ke seluruh pelosok negeri. Mereka berhasil menarik minat masyarakat yang buta huruf untuk belajar baca tulis. Rahasia kesuksesan itu ada pada Freire dan timnya yang mempresentasikan partisipasi dan emansipasi dalam proses politik ke arah pengetahuan membaca dan menulis sebagai goal (tujuan) yang ingin dicapai untuk seluruh masyarakat Brazil. Usaha Freire dan timnya tidak hanya mengartikan bunyi dari huruf-huruf mati, tetapi juga sebagai proses penyadaran dari situasi ketertindasannya. Dengan demikian pembelajaran baca tulis alfabetisasi merupakan langkah awal yang penting dalam usaha konseintisasi (penyadaran) terutama bagi orang dewasa. Penyadaran yang dilakukan Freire dan timnya dilakukan dengan menampilkan problematisasi secara rutin akan eksistensi mereka. Dengan begitu, di samping mereka melek huruf, juga melek politik.
Menjelang akhir dasawarsa 60-an, Freire menerima undangan dari universitas Harvard. Kemudian Freire meninggalkan Amerika Latin menuju Amerika Serikat, di sana ia menjadi guru besar tamu di Harvard’s Center for Studies in Education and Development, dan juga menjadi anggota kehormatan di Center for the Study of Development and Social Change. Di awal 1970-an Freire meninggalkan Harvard University. Pada 1979, Freire diundang pemerintah Brazil untuk kembali dari pembuangan dan mengajar di University of Sao Paulo. Pada 1988 ia diangkat menjadi Menteri Pendidikan untuk kota Sao Paolo. Tahun 1992, Freire merayakan ulang tahunnya ke 70 bersama dengan dua ratus lebih rekan pendidik, pembaru pendidikan, sarjana, dan para aktivis grass root. Acara tersebut diisi dengan workshop dan pesta selama tiga hari yang disponsori oleh New School for Social Research, hal itu menandakan betapa besar prestasi serta keberhasilan hidup dan karya Freire. Pada 2 Mei 1997 Freire mengalami serangan jantung dan akhirnya meninggal dunia dalam usia 75 di Rio de Janeiro (Collins, 2002).


Apa Pendapat Paulo Freire Terkait Tentang Pendidikan ?
Ø  Pendidikan Sistem Bank(Banking System Education)
Freire menilai proses pendidikan yang umumnya dijalankan cenderung kurang melibatkan peran aktif para peserta didik. Ia menyebut pendidikan di sekolah sebagai sebuah sistem pendidikan ala bank. Dalam pendidikan model ini, Freire melihat bahwa para pendidik adalah pihak yang aktif, seolah-olah bertindak sebagai penabung, dan peserta didik hanya pasif menyimpan ilmu yang diberikan oleh pendidik tanpa harus tau apa yang di ajarkan yang penting mereka menerima  apa yang di ajarkan oleh seorang guru pada saat itu. Freire mengemukakan beberapa ciri antara lain sebagai berikut:
1.      Guru mengajar, murid diajar
2.      Guru mengetahui segalanya, murid tidak tahu banyak
3.      Guru berpikir, murid dipikirkan
4.      Guru bercerita, murid mendengarkan
5.      Guru membuat peraturan, murid diatur
6.      Guru mengkombinasi kewenangan ilmu pengetahuan dan jabatannya untuk menghalangi kebebasan murid.
7.      Guru sebagai subyek aktif, murid sebagai obyek pasif.
Pendidikan model bank ini dikritik oleh Freire dengan menyebutkan bahwa pendidikan model ini, seperti yang umumnya terjadi, berakibat tidak manusiawi. Artinya pendidikan macam ini tidak semakin memanusiakan manusia (peserta didik) humanisme. Proses pembelajaran di kelas pun hanya berjalan satu arah, monologal, hanya dari guru kepada murid. Padahal seharusnya, menurut Freire, pendidikan hendaknya bersifat membebaskan dan berjalan dua arah (dialogal) antara yang mengajar dengan yang di ajarkan.
Pemikiran inilah yang digagas oleh poulo freire sebagai bentuk membebaskan masyarakat nya pada saat itu, bahkan sampai sekarang menjadi konsep pendidikan dan penyadaran. seorang pemikir berkebangsaan Brazil ini, menyadari betapa pentingnya"Penyadaran Manusia" terhadap suatu perubahan dalam masyarakat, sehingga Paulo Freire mencetuskan teori Penyadaran yang dimiliki oleh masyarakat, karena kesadaran merupakan kunci yang harus dimiliki masyarakat agar perubahan dapat tercapai. Dengan adanya kesadaran yang dimiliki masyarakat, maka akan sangat mudah untuk menyelesaikan problem-problem sosial yang ada di masyarakat terutama kebodohan dan keterbelakangan dan buta huruf .
Pada saat itu para ilmuan hanya sedikit yang menawarkan pendidikan (proses penyadaran) ini  bagi kaum tertindas, pendidikan yang di rancang secara eksplisit untuk membebaskan baik para penindas maupun tertindas sebagai korban dari sistem yang menindas.Freire telah menawarkan pendidikan semacam itu. Freire dengan programnya di perkampungan kumuh Brasil, memulainya dengan mengkonseptualisasikan sebuah proses penyadaran yang mengarah pada konsep pembebasan yang dinamis dan apa yang disebutnya sebagai"kemanusiaan yang lebih utuh". Dalam hal ini poulo Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi 3 (tiga)golongan, yakni:
Pertama; Kesadaran Magis (magical consciousness) adalah suatu kesadaran masyarakat yangti dak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis ini lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra-natural)[1] sebagai penyebab dan ketidak berdayaan.kesadaran ini beranggapan bahwa sesuatu yang dialami atau yang dirasakan sekarang ini adalah suatu yang berasal dari faktor- faktor yang tak terkendalikan misalnya kita miskin karna miskin adalah ketentuan tuhan ,kita ditindas sudah menjadi ketentuan penindas , nasib , keberuntungan ,usia dan seterusnya , maka kesadaran ini kan cendrung menerima semua ini dengan istilah takdir ilahi (dalam islam di sebut kaum jabariyah)[2]
Kedua; Kesadaran Naif (naival consciusness), keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat.dalam hal ini kemiskinan dan kebodohan bukan lah salah tuhan atau salah si penindas akan tetapi merupakan salah manusia itu sendiri maka, maka di sini yang berfikiran naif cendrung akan mengkondisikan dengan keadaan misalnya tunduk pada ideologi penindas ,menerima penjelasan atau keinginan kaum penindas , tanpa ada kritik sedikit pun , karna di anggapan sebagai sebuah cara untuk tidak ditindas, dan cendrung bekerja sama dengan penindas. 
Ketiga; Kesadaran Kritis (critical consciousness), kesadaran ini lebih melihat aspek sistem danstruktur sebagai sumber masalah.
Masyarakat mengerti dan menyadari asal usul dari penderitaannya. Masyarakat tidak lagi menyatakan bahwa penderitaan itu semacam takdir, hal yang tidak mungkin lagi untuk di ubahdan tidak dapat di tentang atau di lawan. Akan tetapi dalam keadaan sadar, masyarakat mengerti dan berani mengungkapkan apa yang di rasakan sebagai penindasan yang dialaminya dan berusaha untuk membebaskan dirinya dari belenggu yang menindas tersebut. Meningkatkan kesadaran bisa dimulai dari individu, kelompok hingga ke masyarakat. Oleh karena itu, tugas pengembang masyarakatadalah menganalisa masalah dengan cara melibatkan masyarakat secara aktif. Misalnya,membentuk kelompok aksi.Gagasan-gagasan Paulo Freire tentang pendidikan pembebasan telah amat dikenal, terutama dikalangan masyarakat dunia ketiga. Hal ini tentu karena masyarakat dunia ketiga menemukan.
Kita kembali ke pokok pembahasana kita ‘
Apa Sumbangan Pemikiran yang di gagas oleh tokoh ini terkait dengan : Problem-Posing Education          ?
            Sebagai ganti pendidikan model bank, Freire mengusulkan pendidikan yang lebih humanis dan revolusioner.  Ia menyebutnya dengan istilah pendidikan hadap-masalah (problem-posing education). Dalam pendidikan model ini, Freire ingin mengangkat sisi keaktifan para peserta didik dalam proses belajar-mengajar. Para guru/pendidik hanyalah merupakan pendamping para peserta didik untuk akrif terlibat dalam memperoleh pengetahuan. Dalam belajar mengajar, harus terjadi dialog dua arah, sehingga tidak tertutup kemungkinan mengembangkan semangat kritis para murid serta persaingan dalam beradu argumen. Kelas tidak lagi didominasi oleh guru/pendidik, tapi lebih hidup dengan keaktifan seluruh peserta didik.
Hal yang mendasari pemikiran Freire ini adalah keyakinan bahwa setiap manusia memiliki kemampuan dasariah untuk mengubah dan mengarahkan dirinya sendiri. Oleh karena itu pendidikan hendaknya membangkitkan kesadaran kritis peserta didik serta mampu mentransformasikan struktur masyarakat yang menindasnya. Untuk itu, dalam pendidikan jenis/model ini, peserta didik hendaknya diarahkan untuk peduli terhadap masalah sekitar, belajar dari realitas masyarakatnya sehingga kemudian menjadi agen revolusi untuk merubah struktur ketidakadilan yang mungkin terjadi Dari gagasannya ini, Freire dikenal sebagai seorang pendidik yang keritis dan filsuf yang humanis-revolusioner.
Ø  BAGAIMANA DENGANPANDANGAN PAULO FREIRE TENTANG PENDIDIKAN KRITIS ?
A.    Latar Belakang Sejarah Filsafat Pendidikan Kritis
Penelusuran historis tentang filsafat pendidikan kritis atau yang dikenal dengan sebutan filasafat pendidikan radikal tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan perkembangan sejarah sosial, budaya, ekonomi, dan politik di Amerika Selatan yang terjadi pada abad ke 20 lalu. Pada awal dekade 1970an, Paolo Freire, seorang tokoh pendidikan dari Brasil mendeklarasikan berdirinya suatu aliran filsafat pendidikan yang secara kritis dan revolusioner berupaya memperbaharui kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang tertindas pada masyarakat kelas bawah di Amerika Serikat. Kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik di sebagian besar rakyat yang tinggal di negara-negara Amerika Selatan menunjukkan bahwa mereka mengalami penindasan oleh struktur sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang diciptakan oleh sekelompok kecil elit kapitalis yang mengusai akses ke sebagian besar sumber daya negara. Ketimpangan struktural ini menyebabkan rakyat kecil yang merupakan sebagian besar penduduk negara terpinggirkan dalam memperoleh hak pencapaian kesejahteraan hidup.
Melalui sebuah karya monumental yang berbentuk sebuah buku berjudul Pedagogy of the Oppresed (Pendidikan bagi Kaum Tertindas) yang diterbitkan pada tahun 1970, Paolo Freire mengembangkan suatu filsafat pendidikan yang bertujuan membangkitkan kesadarn politik menuju pada upaya-upaya tindakan pemecahan masalah sosial, budaya, ekonomi, dan politik untuk mencapai kesejahteraan rakyat miskin yang terpinggirkan. Pandangan filsafat pendidikan kritis yang sedemikian revolusioner ini banyak mendapat simpati dan para praktisi pendidikan dalam negara-negara yang sedang berkembang dan miskin. Paolo Freire memiliki pandangan bahwa sebab-sebab dari masalah sosial, budaya, ekonomi, dan politik adalah berakar pada suatu sistem, pola, dan praktik pendidikan yang tidak memberi kesempatan kepada rakyat miskin untuk melakukan perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
B.     Aliran Filsafat yang Mempengaruhi Filsafat Pendidikan Kritis
Aliran filsafat kritis yang memberi pengaruh kuat terhadap perkembangan filsafat pendidikan kritis adalah gerakan sosial anarki, filsafat sosial marxisme, dan aliran psikoanalisis. Gerakan anarki yang berkembang pada abad ke 19 M sampai dengan abad ke 20 M yang menentang pemberlakuan sistem persekolahan negara. Menurut gerakan anarki ini, pemberlakuan sistem persekolahan negara ini akan menghambat pengembangan individual seseorang secara maksimal. Tokoh-tokoh gerakan anarkis ini antara lain adalah Leo Tolstoy, Ivan Illich, Paul Goodman, dan Jonh Dhlyer.
Aliran filsafat Marxisme juga memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan filsafat kritis yang merupakan akar la hirnya filsafat kritis. Aliran filsafat Marxisme memiliki keyakinan filosofis terkait dengan pendidikan bahwa sistem persekolahan merupakan praktek-praktek yang mengasingkan induvidu yang berasal dari kelompok rakyat miskin dalam suatu struktur masyarakat industri modern. Para tokoh filsafat pendidikan yang banyak memperoleh inspirasi filsafat dari filsafat sosial marxisme adalah pakar filsafat pendidikan kritis George Counts, Theodore Brameld, dan Paolo Freire.
Filsafat sosial ketiga yang mempengaruhi perkembangan filsafat pendidikan kritis adalah filsafat sosial yang memiliki akar pada salah satu aliran besar dalam psikologi, yaitu aliran psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud. Aliran filsafat sosial ini kemudian dikenal dengan sebutan aliran Psikoanalisis Freudian Kiri. Tokoh-tokoh utama aliran filsafat Psikoanalisis Freud Kiri antara lain Wilhelm Reich dan A.S. Neill. Tokoh-tokoh utama aliran filsafat Psikoanalisis Freud Kiri memiliki keyakinan filosofis bahwa diperlukan perubahan-perubahan atau perlakuan-perlakuan terhadap ciri-ciri kepribadian, perubahan-perubahan atau perlakuan-perlakuan terhadap struktur keluarga, dan perubahan-perubahan atau perlakuan-perlakuan terhadap praktek-praktek pengasuham anak yang bersifat tradisionil sebagai langkah pertama dalam upaya dalam menyeimbangkan kesejahteraan sosial dalam masyarakat.
C. Filsafat Pendidikan Kritis Paulo Freire
1.      Pemikiran Filsafat Umum Paulo Freire
Secara umum, pandangan filsafat pendidikan Pulo Freire banyak didasari oleh pandangannya tentang filsafat manusianya. Filsafat manusia adalah cabang filsafat yang membahas secara filosofis tentang hakekat manusia. Paulo Freire memiliki pandangan filosofis tentang manusia yang berpijak dari suatu asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran dan tindakan yang dapat dibedakan dengan makhluk lain, khususnya yang disebut dengan binatang. Dalam menghadapi realitas kehidupan, kesadaran dan tindakan seseorang tidak ditentukan melalui proses-proses yang berjalan secara mekanis dan deterministic, namun ia sebagai manusia memiliki kemampuan kesadaran dan tindakan yang dapat didayagunakan untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap lingkungan.
Dalam suatu realitas sosial, kesadaran level tinggi ini membantu manusia sebagai subjek yang otonom mampu melakukan tindakan intervensi perubahan sosial dalam masyarakat mereka, melakukan refleksi terhadap hasil tindakan terhadap hasil tindakan intervensi perubahan sosial yang mereka laksanakan, dan memiliki komitmen terhadap keterlibatan mereka dalam tindakan intervensi perubahan sosial itu (Elias dan Meriam, 1984). Ini berarti bahwa dalam kehidupan sosial, masyarakat miskin atau masyarakat tertindas lain perlu diberdayakan (empowering) sehingga timbul kesadaran diri mereka untuk berubah dan melakukan tindakan intervensi perubahan sosial dalam upaya untuk mampu mengentaskan diri dari kemiskinan atau ketertindasan.
Nampak bahwa dalam pemahaman Paulo Freire tentang manusia yang memiliki kesadaran yang berbeda dari kesadaran binatang yang bersifat instingtif adanya pengaruh filsafat eksistensialisme humanis yang berkembang di regional Eropa Kontinental. Menurut filsuf Prancis Jean Paul Sartre, menyatakan bahwa yang membedakan manusia dari makhluk lain adalah kemampuan manusia untuk selalu menetapkan eksistensi atau keberadaannya melalui bantuan kesadaran yang ada dalam dirinya (Cooper, 1996).
Dalam konteks keyakinan Paulo Freire yang sangat optimis terhadap kekuatan nilai-nilai agama bagi perkembangan kesadaran dan pemberdayaan kaum tertindas Nampak adanya perbedaan yang sangat tajam dengan keyakinan filosofis Karl Marx tentang eksistensi agama dalam kehidupan sosial dan kehidupan agama. Dia menolak agama sebagai kekuatan yang mampu memberikan kesadaran dan pemberdayaan kepada kaum tertindas. Dalam hal ini Karl Marx menjelaskan bahwa agama adalah salah satu struktur sosial tempat kaum kapitalis menyinambungkan kekuasaannya.
2.      Filsafat Pendidikan Kritis Paulo Freire
Menurut salah seorang tokoh filsafat pendidikan kritis adalah Paulo Freire pendidikan sebagai sebuah system dunia perbankan tergambar dalam proses pendidikan tempat siswa melakukan upaya-upaya pemrolehan pengetahuan melalui metode-metode pendidikan yang bersifat pasif (hanya menerima begitu saja), membuat klasifikasi ragam pengetahuan dalam kategori-kategori tertentu, dan kemudian melakukan penyimpanan pengetahuan yang telah diklasifikasikan itu ke dalam arsip-arsip file tertentu dalam memorinya.
Dalam konteks filsafat pendidikan kritis, ragam pendidikan yang menekankan pada kekuasaan guru sebagai pusat pemerolehan pengetahuan dan perlakuan siswa sebagai objek pasif merupakan suatu bentuk dari praktek penindasan kepada sesame manusia. Melalui pengembangan dan penerapan kurikulum yang kaku ini dapat mengakibatkan efek samping terjadinya proses alienasi (keterasingan) yang dialami oleh siswa. Kondisi alienasi dalam diri siswa dapat dilihat pada gejala kognisi dan afektif mengarah pada situasi yang menunjukkan bahwa siswa merasakan dalam dirinya ketidakterlibatan dalam proses-proses mengetahui sesuatu. Konsep-konsep filosofis kependidikan yang kemudian dapat diterapkan secara praktis ke dalam praktek-praktek kependidikan itu adalah pembebasan (libertarian), dialog (dialogie) dan pendidikan berorientasi pada pemecahan masalah. Pembebasan adalah dasar fundamental yang utama bagi berlangsungnya proses kependidikan. Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan untuk pembebasan ini maka metode dialog dapat membantu siswa sebagai pembelajar untuk memahami situasi dan kondisi yang riil ruang hidup tempat mereka tinggal, memunculkan perenungan tentang situasi dan kondisi itu dan membuat perencanaan dan melaksanakan tindakan pemecahan masalah tekait dengan situasi dan kondisi itu.
Pendidikan yang berakar pada proses dialogis adalah pendidikan yang mengarah pada pemecahan masalah yang dimulai dari studi tentang latar belakang situasi budaya siswa sebagai pembelajar. Latar belakang situasi budaya siswa sebagai pembelajar ini berfungsi sebagai masukan (input) pada pengembangan kurikulum tentang isu-isu yang perlu untuk didiskusikan dalam proses kependidikan dan proses pembelajaran. studi tentang latar belakang situasi budaya siswa sebagai pembelajar meliputi pengungkapan tentang cara-cara berpikir kebudayaan seseorang dikondisikan atau dipengaruhi oleh hegemoni ide-ide, keyakinan-keyakinan, mitos-mitos, seni, ilmu, norma-norma, dan aspirasi politik tertentu.
Dalam konteks aktivitas pembelajaran dan pengajaran, guru dapat mengajukan suatu jenis bahan ajar sejauh disetujui oleh siswa melalui proses klasifikasi bahan ajar dan modifikasi bahan ajar. Dalam hal ini guru dimungkinkan untuk memberikan saran-saran atau anjuran-anjuran tentang suatu tema bahan ajar kepada siswa, namun guru tidak diperkenankan untuk memaksakan suatu tema kepada siswanya. Pemaksaan dianggap oleh Paulo Freire sebagai suatu pelanggaran terhadap prinsip dialog dalam proses pendidikan.
Pendidikan otentik yang dikemukakan oleh yang dikemukakan oleh Paulo Freire tidak dapat disangkal memiliki agenda keharusan-keharusan untuk melibatkan proses dan hasil pembelajaran dan tindakan-tindakan politik. Pendapat Paulo Frerie ini menunjukkan suatu gambaran bahwa proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dengan masalah-masalah sosial politik dan berupaya untuk melakukan pemecahan masalah demi tercapainya perubahan dan pembaharuan sosial dalam masyarakat kea rah yang lebih berkeadilan.
Menurut Freire, pendidikan tidak pernah netral dan isu-isu yang terkait dengan situasi dan kondisi sosial politik. Dalam diskusi tentang situasi dan kondisi sosial politik terkini, guru dan siswa akan memperoleh pengalaman belajar mengajar yang terkait dengan kesadaran tentangkemungkinan perubahan-perubahan sosial yang mungkin untuk dilakukan melalui proses pendidikan. Pemikiran ini menggambarkan suatu pendapat bahwa pendidikan memiliki tugas utama untuk membebaskan siswa sebagai partisipan dari linngkungan hemologi struktur sosial kaum yang berkuasa. Tugas pembesan itu terkait dengan tujuan pendidikan pembebasan untuk mencpai keadilan kesejahteraan sosial bagi kaum tertindas (Ellias dan Merriam, 1984).
Diskusi kritis sebagai metode utama pembelajaran dalam filsafat pendidikan kritis Paulo Freire menunjukkan perseberangan pemikiran dengan metode pembelajaran dalam filsafat pendidikan tradisionil yang cenderung pada stategi indoktrinatif yang bersifat manipulatif. Metode pembelajaran sering juga dikenak dengan sebutan pendidikan revolusioner. Pendidikan dalam arti revolusioner ini memiliki makna yang terkait dengan tujuan pendidikan untuk mencapai perubahan-perubahan revolusioner dalam kehidupan pribadi dan sosial melalui proses dialogis. Proses dialogis ini terutama terjadi diantara orang-orang yang tertindas.
Keberpihakan pada kaum tertindas mengarahkan Paulo Freire untuk mengembangkan suatu suatu pendidikan sosial sistem pendidikan untuk orang tertindas (education of the opperesed). Pada tahap awal pengembangan pendidikan untuk orang tertindas yang memiliki perspektif revolusioner itu, Paulo Freire banyak melakukan eksplorasi dan rancangan-rancangantindakan pengembangan dalam bidang pendidikan melek huruf (literacy education) untuk orang miskin pada daerah kumuh di Negara Brazil tahun 10970an. Paulo Freire adalah salah seorang di antara sedikit orang yang diakui memiliki kontribusi penting bagi perkembangan metode-metode pembelajaran dalam pembelajaran melek huruf untuk orang miskin. Metode pembelajarn melek huruf oaring miskin yang dikembangakan oleh Paulo Freire dimulai dari model awal kata-kata, kalimat-kalimat, dan iodom-iodom yang telah dimiliki terlebih dahulu dalam diri partisipan belajar. Ini berarti bahwa dalam pembelajan melek huruf semacam itu, latar belakang kebudayaan partisipan belajar atau pembelajaran tidak dinaifkan begitu saja, namun lebih jauh lagi diinkoporasikan dalam proses pembelajaran. Ini berarti bahwa proses pembelajaran tidak mengeliminasikan partisipan belajara dari muatan-muatan pembelajaran yang diberikan.
Dalam konteks ini, di filasafat pendidikan kritis yang memiliki agenda perubahan sosial dan politik dalam kehidupan sosial nyata, sangat mengecam pandangan tradisionil dalam pendidikan yang menyatakan bahwa tugas utama pendidikan adalah untuk mewariskan nilai-nilai dan pemantapan nilai-nilai sosial budaya yang telah ada dalam masyarakat. Secara revolusioner, filsafat pendidikan kritis mengemukakan bahwa tugas pendidikan tidak untuk melakukan pewarisan nilai-nilai dan legitimasi nilai-nilai konservatif yang telah ada dalam masyarakat, tapi lebih jauh lagi adalah memiliki tugas melakukan perubahan, pembaharuan, dan pembebasan sosial sehingga masyarakat tidak terbelunggu oleh kekuasaan hegemeni tertentu yang ingin terus menerus melanggengkan kekuasaannya. Apalagi tugas itu mampu ditunaikan maka tujuan pembengunan masyarakat yang lebih berkeadilan akan tercapai.
Dalam perkembangan sejarah, pendidikan untuk orang tertindas yang dikembangkan oleh Paulo Freire banyak mendapat dukungan dari kelompok-kelompok lembaga swadaya masyarakat yang memiliki orientasi pada isu-isu tentang masyarakat tertindas, pemberdayaan kaum miskin, dan tindakan pemecahan maslah langsung terhadap problem-problem sosial.


[1] William A.smith conscientizacao.tujuan pendidikan paulo freire. Hal.56-57.
[2] Di sampaikan dalam diskusi ksip.tanggal 10 januari 2012, di kampus tylantai satu .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar